Suka Duka Menikah Dengan Orang Asing/ Bule Part II (Kehidupan Pernikahan)

Posted on Updated on

marriage life

Di artikel kali ini saya ingin berbagi pengalaman saya mengenai suka duka menikah dengan pria berkebangsaan asing atau yang sering kita sebut bule. Di artikel sebelumnya Suka Duka Menikah Dengan Orang Asing/Bule menceritakan mengenai respon yang saya dapatkan dari lingkungan sekitar di Indonesia. Dan kali ini saya ingin berbagi kondisi kehidupan pernikahan bersama pria bule.

Suami saya berkebangsaan Australia, dan saat ini saya tinggal bersama suami di negaranya. Kondisi saya sekarang ini belum diperbolehkan untuk meninggalkan Australia dalam kurun waktu tertentu.

Menikah dengan pasangan berbeda negara, yang pastinya berbeda budaya dan juga tinggal jauh dari kerabat dekat serta keluarga merupakan hal yang benar-benar luar biasa, luar biasa dalam artian suka maupun duka.

Saya dan suami terpaut umur cukup jauh, 12 tahun. mungkin karena itu juga dia lebih sabar menghadapi saya dan lebih ngemong istilahnya. Jika dia marah terhadap sesuatu bahkan marah besar, suami saya tidak pernah melampiaskannya kepada saya, masih tetap lembut menanggapi saya walau raut muka jelas-jelas terlihat amarah, itu karena dia masih bisa mengontrol akal sehatnya bahwa dalam masalah ini pasangan tidak terlibat. Dan disinilah tugas saya sebagai istri untuk menenangkan.

Suami saya memegang betul prinsip kesetaraan, misalnya pekerjaan rumah bukan hanya tugas istri, masak tidak selalu istri, istri boleh malas tidak melakukan pekerjaan rumah, karena dia paham betul, ada kalanya seseorang ingin menikmati hari tanpa melakukan apa-apa, sehingga tidak ada perasaan beban pada saya pribadi sebagai istri yang harus segera bersihkan rumah selepas pulang kerja, kemudian menyiapkan makan malam untuk kami berdua. Bahkan ada kalanya jika saya malas memasak, saya utarakan perasaan saya ke suami “Babe, saya sedang malas memasak, maukan kamu yang memasak makan malam hari ini?”, dan suamipun mengiyakan dengan senang hati. Jujur saja, masakan suami lebih enak ketimbang masakan saya. Setelah selesai makan malampun dia sendiri yang mencuci piring.

Mengenai keuangan, dia tidak keberatan semua hal mengenai uang masuk yakni gaji dikelola oleh saya, hingga saya memiliki akses ke akun banknya, serta mengontrol transaksi apapun. Dengan kata lain suami saya percaya 100% kepada saya, dan saya harus mempertanggunjawabkan kepercayaan tersebut demi masa depan kami. Sekaligus mengendalikan sikap boros suami saya.

Mengenai keluarga dan teman-teman dari suami saya, mereka sangat perhatian dan memahami kondisi saya yang jauh dari keluarga. Sehingga setiap saat selalu menanyakan kabar saya juga kabar kehidupan pernikahan, “How is marriage life?”tanya mereka sembari tersenyum. dan sayapun menjawab “Semuanya baik-baik saja”.

Baik keluarga dan teman-teman suami saya selalu mengatakan jika terjadi apa-apa denganmu, atau suamimu keras padamu, langsung saja bilang padaku. penyataan itu dikatakan didepan suami saya juga, walau sebenarnya mereka yakin bahwa suami saya tidak akan pernah berlaku keras terhadap saya. Itu semua sudah terbukti dari cara suami saya tetap berlaku lembut kepada saya dikala sedang dalam kondisi bad mood tingkat akut yang membuat orang geregetan karena bertingkah menyebalkan saat datang bulan, sebab dia tahu dan paham kondisi wanita datang bulan, apalagi  tidak ada yang berubah pada sikapnya sejak kebersamaan kami selama 4 tahun ini. Pernyataan itu sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap saya sebagai wanita, karena kekeraan terhadap wanita merupakan hal yang tidak dapat ditoleransi sedikitpun, sekali tangan melayang dan mendarat ditubuh istri, istri berhak melaporkannya pada pihak berwajib.

Secara keseluruhan cara suami saya memperlakukan saya itulah yang membuat saya jatuh cinta, dan bahagia. Apalagi gambaran perlakuan pria bule yang lembut terhadap pasangannya yang selalu tertanam dalam benak saya sejak remaja melalui tontonan film  benar-benar saya rasakan.

Tapi semua hal pasti ada suka dan duka, ada manis ada pahit.

Namanya beda budaya, pastinya ada yang bersebrangan. Saya masih belum terbiasa dengan kehidupan alkohol, dimana hal tersebut wajar bagi mereka. Berkumpul bersama teman, tawa riang, ditemani bir. Mengobrol cerita lucu, tertawa, minum bir, mabuk, cerita lagi, tertawa lagi lebih keras, berbicara lebih keras hingga akhirnya terdengar menyebalkan dan berisik bagi saya pribadi. Tapi mau bagaimana lagi, saya tidak bisa mengubah kebiasaan apalagi budaya. Hanya bisa mencoba mengurangi intensitas suami tuk berkumpul dengan teman-teman tetapi tidak melarangnya menghadiri acara yang diadakan temannya.

Dan hal pahit lainnya adalah saat saya mengalami homesick, kangen orang tua, teman-teman, makanan, hiburan ala Indonesia. Kudu sing sabar istilah jawanya. Tidak bisa ketika rindu seketika itu juga pulang, diobati sedikit demi sedikit melalui telepon, kalau lagi pengen bakso, tidak bisa langsung singgah ke warung bakso, tapi ngubek-ngubek dapur dulu alias masak. Tapi itu semua sebagai bentuk belajar kemandirian dan ketahanan diri.

Itulah beberapa hal suka dan duka menikah dengan orang bule. Di artikel ini saya tidak membandingkan antara pria Indonesia dan bule, karena banyak juga teman-teman pria Indonesia saya yang bersifat gentle. Dan tidak semua pula pria bule layaknya tokoh romantis di film-film.

Seperti nasehat mama saya, siapapun pasangan kita, dia akan bertekuk lutut dan lembut jika kita sebagai istri memberikan kenyamanan. Karena istri adalah tiang penyangga rumah tangga.

One thought on “Suka Duka Menikah Dengan Orang Asing/ Bule Part II (Kehidupan Pernikahan)

    Antosan said:
    19 July 2018 at 7:33 pm

    Mba bagi2 pengalaman Donk gimana caranya bisa kerja di Australia….thank

    Like

Leave a comment